Lho?

Sudah gedhe-gerang kok masih saja seperti ini? Rasanya hidup seperti sampah. Dari yang dulunya gemar mendengarkan musik, sekarang mulai pudar. Dari yang dulu gemar nge-tweet sekarang rasanya makin nggak diperlukan.

Segala sisi rutinitas seperti sampah. Memulai seusatu rasanya berat, ditambah lagi utang sana-sini. Malah lari ke sini cuma buat curhat yang isinya tulisan sampah. Tulisan ini yang saya maksud sampah.

Apalagi baca buku. Makin jauh rasanya. Terakhir kali menamatkan satu buku penuh agaknya kurang lebih dua tahun lalu. Selebihnya, mencoba segala sesuatu kaya ngga berguna. Larilah dengan belajar gitar. Kunci ya itu-itu saja, sebatas mempelajari dan praktik chord Bm atau yang susah-susah juga males.

Sepertinya semua hal di atas itu hasil buah pelarian dari skripsi, yang notabene adalah tanggung jawab seorang mahasiswa terutama saya. Kok bisa penyakit males bisa sebesar keputusan untuk menekan tombol roket nuklir seperti ini. Sepertinya hidup sudah kadung nglungkruk.

Mau cerita sana-sini juga sudah malu. Mending buat tidur atau merancap dan lagi-lagi kabur dari realitas.

Akhir-akhir ini yang menyelamatkan saya cuma Netflix. Sekarangpun mbayar bulanannya belum mampu. Untung saya sudah menamatkan Stranger Things, tinggal final season-nya saja yang belum. Begini begitu akhirnya ketemu lagunya Weezer, Say it Aint So.

Lalu apa yang saya lakukan? Mengulang-ngulang bagian lagu

Flip on the telly
Wrestle with Jimmy

Somethin’ is bubblin’
Behind my back

Kapan semuanya ini selesai, ya?

Estranged: Tentang Menjadi Kalah dan Tersungkur Lemah

Selagi membaca buku Nice Boys Don’t Write Rock N’ Roll  karya Nuran Wibisono sang hair metal aficionado itu, saya jadi tergoda untuk mengulik beberapa katalog Guns N’ Roses lagi.

Pertama, karena saya nggak ingat kapan terakhir kali mendengarkan satu lagu pun dari band ini. Mendengar intro ikonik “Sweet Child O’Mine” dan balada langganan karaoke “Don’t Cry” untuk pertama kali sejak waktu yang sangat lama rasanya sungguh nostalgik sekali.

Band ini punya tempat khusus di hati saya. Guns N’ Roses mempunyai imaji matahari sore yang menyenangkan. Waktu saya masih kecil, Bapak saya suka memutar CD bajakannya di sore hari sambil menyiram bunga. Waktu SMP, Aziz, si operator di warnet langganan saya di Sukun suka memutar “Patience”, lagu yang akhirnya mengiringi kegagalan saya menembak gadis pada waktu itu. Waktu SMA, Nicky, teman sekelas saya sanggup memainkan akustik fingerstyle “November Rain” dengan begitu syahdu.

Lanjutkan membaca Estranged: Tentang Menjadi Kalah dan Tersungkur Lemah

Long Live Rock N’ Roll.. or Whatever That’s Left

Sekarang saya lagi asyik menamatkan kumpulan esai musik milik Nuran Wibisono. Nice Boys Don’t Write Rock N Roll: Obsesi Busuk Menulis Musik 2007-2017

Nuran Wibisono adalah salah satu editor Tirto.id yang lumayan sering produk artikelnya bikin saya terhibur. Tulisan-tulisannya punya gaya eksposisi yang unik, cenderung seperti bercerita. Membaca tulisan Nuran seakan membaca cerita pendek. Belakangan saya tahu gaya jurnalisme seperti itu namanya jurnalisme sastrawi, atau jurnalisme gonzo. Dibuat tenar oleh Hunter S. Thompson, Gay Talese, dkk.

Lanjutkan membaca Long Live Rock N’ Roll.. or Whatever That’s Left

Musik: jatuh cinta dan tak begitu kenal

Begitulah kira-kira hubungan banyak orang dengan musik, mencintainya tanpa banyak tau. Mencintai musik cukup terpejam beberapa saat karena ketukan dan progresi-progresi yang sekali lagi, kita tak perlu tau tentang itu semua. Cukup mendengarkan dan terbuai.

Urusan mencintai tak perlu membandingkan tukang masak restoran bersama radio transistor SW-nya dengan kolektor vinyl. Tak usah angkat suara saat menyadari lagu yang harusnya pada sus4 malah dengan penuh keterbatasan si gitaris menekan sus2. Tak usah mengadu domba para bass head dengan maniak clean ber-Eidola yang diputarnya tiap melintasi A. Yani. Urusan mendalam biar dihajar oleh para pemusik, mereka bekerja. Kita cukup mencintainya saja, dan bagi musik cinta itu sudah lebih dari cukup.

Lanjutkan membaca Musik: jatuh cinta dan tak begitu kenal

Ganja: Bila Benar Bermanfaat

1972. Periode gemilang. Empat tahun administrasi militeristik Suharto berjalan. Empat tahun penuh propaganda dan golongan karya. Indonesia terlihat baik-baik saja.

Setidaknya begitu di buku sejarah SMA.

Satuan Baret Biru Korps Brigade Mobil Indonesia, agar terlihat beken di mata anak muda yang mulai tercemar subkultur hippie, membentuk sebuah grup band yang menyuarakan apa itu sebenarnya kehidupan sosial yang ideal. Namanya catchy dan mudah diingat. The Brims.

Lanjutkan membaca Ganja: Bila Benar Bermanfaat